11Dec/20

Nyanyian Owa Jawa : diva di tengah rimba

Oleh : Nur Aoliya , email :  [email protected]

Owa jawa (Hylobates moloch) di hutan Sokokembang, Petungkriyono

 “Emang ada Owa Jawa di Pekalongan?” itu pertanyaan pertama saya saat mendengar program konservasi owa jawa oleh Coffee and Primate Conservation Project atau sekarang lebih dikenal SwaraOwa  di desa sukokembang, kecamatan petungkriyono kabupaten pekalongan tahun 2014. Sampai sekarang tahun 2020 masih ada orang yang mempertanyakan akan hal itu, bahkan orang pekalongan sendiri ada yang tidak tahu kalo ada Owa Jawa di Pekalongan.

Salah satu yang unik dari owa adalah suara atau nyanyiannya, bak sebuah lagu. Baik owa betina maupun jantan dapat bersuara, namun waktu dan tipe suaranya berbeda. Owa jantan cenderung bersuara sebelum fajar sedangkan Owa betina cenderung bersuara setelah terang dan kadang siang hari. Jenis-jenis owa menghasilkan  nyanyian lagu yang keras dan panjang yang sebagian besar dipamerkan oleh pasangan yang telah kawin. Biasanya, pasangan menggabungkan nyanyian ini  (repertoire) dalam interaksi vokal, tepat waktu, dan kompleks untuk menghasilkan  pola duet yang baik.1

Perbedaan waktu bersuara Owa Jawa ini, kenapa seperti itu juga belum banyak yang meneliti. Di dunia hanya Owa dari Jawa dan Owa dari Mentawai dimana antara jantan dan betina tidak menyanyi bersama.

Sonogram , visualisasi suara owa jawa

Lebih menarik lagi suara yang dinyanyikan owa betina pada pagi hari yang disebut great call, karena suaranya sangat khas. Suaranya dimulai dengan suara “waa” dengan interval lambat yang semakin cepat sampai ke lengkingan panjang dan diakkhiri dengan interval yang semakin melambat.  Mungkin karena itulah satwa ini lebih dikenal sebagai owa-owa/ uwek-uwek karena suarnya terdengar melafalkan kata tersebut. Suara betina selain khas juga memiliki peranan sangat penting, yaitu sebagai tanda daerah teritorinya. Setiap kelompok owa memiliki area yang digunakan sebagai tempat mencari makan, istirahat, reproduksi, dan segala aktifitasnya. Area tersebut akan dijaga dan tidak akan mengijinkan owa dari kelompok lain untuk memasuki area mereka. Tugas owa betina ini menyiarkan batas-batas areanya melalui suaranya tiap pagi.

Lantas bagaimana owa tau bahwa ini suara betina yang mana? Dan dari kelompok mana? ini menjadi daya tarik saya untuk mepelajari variasi great call owa di sokokembang sebagai skripsi yang didukung oleh Swaraowa. Ternyata setelah saya mempelajari lebih lanjut baik secara literature maupun penelitian langsung setiap suara betina ini memiliki perbedaan. Perbedaanya dapat kita lihat dengan cara memvisualisasikan suara nyanyiannya, dan perbedaan yang utama  dari nadanya, durasinya dan frekuensinya (lihat gambar dan video). Seperti suara manusia yang berbeda-beda sehingga kita bisa membedakan manusia hanya dari suaranya tanpa melihat wujudnya kan? owa jawa juga begitu.

Saat ada satu betina yang bersuara maka akan memancing betina lain akan bersuara.  Antar betina yang beda kelompok tidak akan bersuara bersamaan alias bergantian, agar pesan  masing-masing kelompok tersampaikan. Biasanya betina remaja akan belajar bersuara bersama induk betinanya, tapi kadang suaranya masih nanggung atau tidak seharmoni induknya. Owa tidak akan bersuara saat hujan atau malam harinya hujan. Soalnya suaranya akan lebih sulit terdengar oleh kelompok lain dan butuh energi lebih saat hujan.  Jadi dari pada energi terbuang sia-sia untuk bersuara lebih baik digunakan untuk menghangatkan badan. Sama seperti kita kalo hujan juga penginya rebahan ajah, tidak  buang-buang energi.

Demikianlah sebagian fakta unik tentang owa jawa. Mudah-mudahan owa jawa dimanapun khususnya di Petungkriyono akan tetap lestari,  owa membantu regenerasi alami pohon-pohon alam, kita butuh hutan  dan owa jawa sebegai satu kesatuan, menikmati udara segar, air sungai yang deras dan jernih, sumber ekonomi dan  ilmu pengetahuan  yang harus kita rawat dan kelola dengan bijaksana. Menikmati nyanyiannya di hutan setidaknya akan memberikan rasa kedamaian diantara riuhnya suara-suara gemuruh pembangungan anthroposentris , nyanyian Owa seperti diva di tengah belatara, yang menunjukkan bahwa hutan tempat hidupnya masih terjaga. Melestarikan owa jawa dan hutan sama sajah menjamin kehidupan untuk manusia generasi selanjutnya.

 

Daftar Pustaka

  1. Geissmann, T. dan V. Nijman. 2001. Calling Behaviour of Wild Javan Gibbons Hylobates moloch In Java, Indonesia dalam Forest (and) Primates. Conservation and ecology of the endemic primates of Java and Borneo. Tropenbos Kalimantan Series
19Nov/20

Kekah Natuna, Kesan Pertama Pengamatan Primata di Habitatnya

ditulis oleh: Kurnia Latifiana − [email protected]

Kekah Natuna (Presbytis natunae) di habitat aslinya.

Pertama kali pengamatan primata, pertama kali ke Natuna, pertama kali terjun ke lapangan dengan dua wanita hebat, tangguh, dan mandiri. Serba pertama kali yang dikemas secara epic. Semesta merestui kami − Mbak Kasih, Mbak Ika, dan aku − untuk melakukan survei primata endemik kekah Natuna (Presbytis natunae) di habitat aslinya. Kekah, biasa masyarakat lokal Natuna menyebutnya, salah satu jenis primata yang hanya ada di Pulau Natuna. Kekah Natuna dilindungi oleh Pemerintah Indonesia melalui P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018. Status konservasi secara global, terklasifikasi sebagai satwa yang rentan terhadap kepunahan atau vulnerable (VU) (IUCN SSC Primate Specialist Group, 2020) dan status perdagangan termasuk Appendix II CITES yaitu berpotensi terancam punah bila perdagangan dilakukan terus-menerus tanpa adanya hukum yang mengaturnya (CITES, 2016).

Hampir menuju penghujung September 2020, kami bertiga bergerak ke utara membelah khatulistiwa, dari Pulau Jawa menuju Pulau Natuna. Pulau kecil ini seluas 1.605 km2 dan di kelilingi lautan lepas. Jika kalian membuka Peta Indonesia, maka Pulau Natuna berada di paling utara Selat Karimata, di antara Pulau Sumatera dan Kalimantan. Sering disebut Pulau Natuna Besar atau Pulau Bunguran, pulau utama terbesar di Kepulauan Natuna, Provinsi Kepulauan Riau. Sesampainya di Natuna, kami langsung menuju Kantor KPHP Unit V Natuna, di Ranai. Berbekal informasi dari rekan-rekan KPHP Natuna yang lebih mengetahui persis lokasi kekah berada saat ini, kami berdiskusi untuk menentukan lokasi survei yang dapat kami jangkau. Beberapa lokasi target sudah kami tentukan, pun dengan pembagian siapa meluncur ke lokasi mana. Kami bersepakat untuk membagi tim menjadi tiga. Kami berpencar. Saatnya eksekusi.

Peta Pulau Natuna.

***

Sebelumnya, aku sama sekali belum pernah melakukan pengamatan primata. Hanya sekedar field trip sebagai tourist, itu pun baru sekali. Survei ini adalah pengalaman pertamaku, dan langsung ke Natuna. What a surprise! Karena sesungguhnya aku yang dulu cukup lama menjadi teman setia dalam kegelapan bersama satwa nokturnal, herpetofauna. Ketika pengamatan sering nunduk dan hanya sesekali lihat ke atas. Namun, kali ini semua itu berkebalikan. Aku harus jalan pagi dan sore, mengamati atas tajuk. Seperti merubah algoritma default di otakku.

My first trial and error. Sebenarnya cukup khawatir njomplang (tidak seimbang) dengan kemampuan dua mbak senior yang sudah lihai kesana-kemari pengamatan primata. Njomplang dalam arti peluangku mendeteksi primata belum cukup terlatih, belum peka dengan keberadaannya. Mbak Kasih berkali-kali berpesan padaku, “Jalannya santai saja, kalem, slow. Ada area terbuka, berhenti dulu, amati sekitar. Kalau jumpa kekah, catat hal-hal prioritas. Jangan terlalu lama di titik itu, nanti kehilangan jejak untuk kelompok di depannya.” Aku ingat-ingat betul pesannya dan aku praktekkan sebisaku.

***

Rangkaian survei pertama kami di sekitar Ranai, yang merupakan pusat pemerintahan di Kabupaten Natuna, terletak di bagian timur pulau ini. Kami menyebar ke tiga lokasi survei sesuai rencana. Hari pertamaku pengamatan primata. Surprise! Sekelompok kekah menampakkan raut imutnya, sekitar 30 meter di depanku, berlokasi di kebun campur yang menyerupai hutan sekunder di sekitar permukiman warga. “Oh, ini toh dia (kekah) kalau di alam. Oh, begini wujudnya,” decak kagumku tak terhenti. Pertama kali dalam sejarah hidupku melihat Presbytis di alam. Mereka (kekah) auto sibuk berpindah dari pohon satu ke pohon lain untuk waspada sambil mengawasiku. Tak mau kalah sibuk, aku pun mengintip mereka melalui jendela kamera untuk mengabadikannya melalui foto. Beberapa frame sudah ku dapat, tapi belum puas, hasil gambar masih kabur karena terlalu bahagia sampai gemetaran pegang kamera. Hehehe. Ketika sampai penginapan, kami bertiga bertukar cerita. Hari pertama pengamatan, dua senior sekaligus guru dan sahabatku ini belum bertemu langsung dengan kekah. “Ini nih yang dinamakan keberuntungan pemula. Langsung ketemu di hari pertama pengamatan. Selamat ya!” tuturnya.

Hari berikut, masih di Ranai dan sekitarnya. Aku menuju jalur pendakian Gunung Ranai, gunung tertinggi di pulau ini. Gunung ini merupakan kawasan hutan lindung KPHP Natuna, dengan tutupan hutan lahan kering sekunder yang berbatasan dengan kebun masyarakat. Sambil mendaki lereng curam, aku melihat pergerakan daun tak wajar sekaligus mendengar riuh suara kekah, sangat nyaring. Tanpa pikir panjang, aku merekam suaranya menggunakan ponsel pintarku. Iqbal, staff KPHP Natuna yang menemaniku, melihat kekah itu, “Ada (kekah), Kak. Ada 3 ekor,” ucapnya. Aku pun meneruskan jalur pendakian dengan lereng yang sangat tajam, diiringi latar suara kekah menemaniku terengah-engah mendaki Gunung Ranai.

Selepas seharian berpencar ke transek masing-masing, setibanya di penginapan, kami selalu bertukar cerita sekaligus berdiskusi merencanakan menuju target lokasi berikutnya. Hari itu Mbak Ika sangat beruntung jumpa kekah sekaligus mendapatkan fotonya, begitupun Mbak Kasih. Lengkap sudah, kami semua sudah bertemu dan mendapatkan foto kekah di alam. Tak lama, dua mbak senior ini sangat seru membicarakan kekah dan membandingkan dengan spesies Presbytis yang lain. Kira-kira begini, “Dia (kekah) di sisi luar tuh ada putihnya ya ternyata. Dia kalau pindah kalem banget, lebih slow daripada spesies ini lohbla bla bla…” dan seterusnya. Hemm, aku cuma bisa diam dan mendengarkan apa yang mereka bicarakan, mencoba mengekstrak tapi tetap saja nggak terbayang juga. Hahaha.

Selanjutnya pada trip kedua, kami berpindah berpencar untuk menjelajahi sisi Natuna bagian tengah-barat. Aku menuju Gunung Semala, yang hampir dua dekade silam dilaporkan ada kekah di sana (Lammertink et al., 2003). Di kaki gunung ini juga dimanfaatkan oleh para penambang batu untuk bertahan hidup. Menurut warga setempat, “Dulu memang banyak kekah, di sepanjang jalan menuju Gunung Semala juga ada. Namun, sekarang tak banyak, kalau di gunungnya justru tidak ada.” Pengamatanku kali ini nihil. Tak satupun primata teramati di Gunung Semala. Sunyi, tak terdengar suara satwa. Hanya sekali aku jumpa burung srigunting (nama lokal: sawe), terkadang teramati bajing kelapa.

Beberapa jenis satwa teramati ketika pengamatan kekah: srigunting/sawe, bajing kelapa, kangkareng perut putih/jungkak, elang ular bido/elang darat.

Survei berikutnya menuju Natuna bagian selatan. Meminjam istilah Mbak Ika yaitu “kerajaan kekah”, karena baru jalan sebentar saja sudah jumpa kekah. Sangat memanjakan mata. Perbedaan yang sangat drastis dari lokasi pengamatanku sebelumnya. Dari informasi warga setempat, di jalur kebun buah memang sering dijumpai kekah. Aku segera menelusuri jalur yang dimaksud. Di jalur ini juga kerap mondar-mandir burung kangkareng perut putih (nama lokal: jungkak) dan sesekali teramati burung elang ular bido (nama lokal: elang darat). Tak membutuhkan waktu lama, setelah terdengar gemercik aliran sungai, terpantau olehku tujuh ekor kekah di atas pohon, lantas mereka bersuara. Aku mengira suara itu pasti ketua kelompok kekah yang memberikan “aba-aba” kepada kawanannya. Namun, kali ini lain, suaranya berbeda jika dibandingkan ketika aku merekamnya di Gunung Ranai. Entah itu tipe suara yang mana, yang penting aku rekam saja dulu. Di lokasi ini merupakan perkebunan campur yang berbatasan dengan hutan rawa sekunder. Aku coba mendatangi lokasi pohon di mana kekah tadi berkumpul. Pantas saja, ternyata ada pohon buah di situ. Kami masih mencoba untuk mengidentifikasi buah ini. Menurut warga setempat, kekah suka mengonsumsi bijinya saja. Selain itu, makanan favoritnya adalah biji buah karet, daun muda karet, biji rambutan, dan daun ubi.

Peluang perjumpaan kekah cukup tinggi di bagian selatan Natuna. Senang, namun sekaligus sedih, karena cukup mudah pula untuk diburu. Kami sempat menemui beberapa warga yang masih memelihara kekah di rumahnya. Berkaca-kaca ketika melihat sepasang kekah yang diikat dalam kandang seolah mereka berteriak ingin bebas, sedangkan aku belum bisa apa-apa. Pilu.

Kami berharap, melalui rangkaian kegiatan ini sebagai awalan baik untuk memicu aksi konservasi kekah Natuna yang saat ini populasinya semakin menurun. Sekaligus sebagai usaha untuk menghambat laju penurunan populasi dan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap konservasi kekah sehingga dapat berdampingan berbagi ruang hidup (coexistence). Semoga ada kesempatan untuk berkunjung kembali ke Natuna, kediaman “kerajaan kekah”, dan tentunya saat musim buah. Tak hanya bagi kami, tetapi bagi siapapun yang berniat baik ke sana.

Terima kasih kami ucapkan kepada Primate Conservation Inc. (PCI), SwaraOwa, keluarga besar BBKSDA Riau, KPHP Unit V Natuna, serta pihak-pihak yang telah mendukung upaya pelestarian Kekah Natuna. Terima kasih kepada warga setempat di seluruh penjuru Natuna yang berkenan kami singgahi sebagai hunian sementara selama di Pulau Natuna.

Kesan pertama memang selalu melekat di hati 🙂

Bersama keluarga besar KPHP Unit V Natuna (kiri) dan BBKSDA Riau (kanan).

***

 

Referensi:

Convention on International Trade in Endangered Species (CITES). (2016). Appendices I, II, and III. http://www.cites.org

IUCN SSC Primate Specialist Group. (2020). IUCN Red List of Threatened Species 2020: Presbytis natunae. IUCN Red List of Threatened Species. Assessed by Setiawan, A, Cheyne, S. M., & Traehold, C. https://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2020-2.RLTS.T136500A17955492.en

Lammertink, M., Nijman, V., & Setiorini, U. (2003). Population size, Red List status and conservation of the Natuna leaf monkey Presbytis natunae endemic to the island of Bunguran, Indonesia. Oryx, 37(4), 472–479. https://doi.org/10.1017/S003060530300084X

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI. (2018). P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi. Jakarta, Indonesia.

 

02Nov/20

Beasiswa KOPI OWA

Program “Kopi dan Konservasi Primata 2020 -SWARAOWA, mengajak anda berkontribusi melalui pembelian Kopi “jungle bean” dari habitat Owa Jawa, seharga Rp 120.000,00 anda akan mendapatkan 2 bungkus kopi Arabica dan Robusta. Keuntungan penjualan kopi ini akan di gunakan untuk biasiswa penelitian Owa jawa dan burung Raja Udang Kalung Biru, di Hutan Petungkriyono,Kab.Pekalongan, Jawa Tengah.

Owa jawa (Hylobates moloch)

Saat ini ada 2 mahasiswa yang akan melakukan penelitian tentang perilaku bersuara Owa Jawa (Hylobates moloch), dan Distribusi dan habitat burung Raja Udang Kalung biru (Alcedo euryzona). Tentang burung Raja Udang Kalung Biru ini merupakan burung langka terancam punah (Critically Endangered) yang di temukan tahun 2018 oleh tim SWARAOWA.

Javan Blue Banded Kingfisher

Pembelian kopi ini juga menjaga produksi kopi Owa di masa pandemic, dimana sangat terdampak karena tutupnya outlet-outlet/coffee shop jaringan kopi Owa saat ini. Dukungan anda sangat penting tidak hanya untuk mendukung penelitian satwa terancam punah tetapi juga mondorong warga sekitar hutan untuk tetap produktif dan menjaga kelestarian hutan.

kopi owa “Jungle Beans”

Sampai bulan Desember 2020, penelitian ini membutuhkan dana kurang lebih Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) dan saat ini sudah ada dana Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk kegiatan kelapangan bulan September-November 2020. Penggalangan dana ini akan kami buka sampai akhir bulan November 2020, dan juga akan menjadi sekema berkelanjutan untuk upaya pelestarian primata dan burung langka di wilayah Jawa Tengah. Ikuti terus perkembangan kegiatan kami di sosial media SWARAOWA.
Pembelian bisa kopi kami layani melalui OWA COFFEE, no WA : 0823 1377 2667, Instagram dan twitter Owa Coffee, juga tokopedia : https://www.tokopedia.com/owacoffee

01Dec/19

Greeting from the wild

hello world, you are in the home page of SwaraOwa, a group of dedicated young people working for and to conserve Javan Silvery gibbon (Hylobates moloch) in Central Java, and Mentawai Gibbon ( Hylobates klossii) in Mentawai island, Indonesia


read more fieldwork stories in our blog : https://swaraowa.blogspot.co.id/