Tag Archives: malinggai uma

10Apr/22

Mentawai Teacher Training : Strengthening Cultural Values and Nature Conservation

in the the forest, all participants photo group

Every year since 2020, Malinggai Uma jointly organise with SwaraOwa a workshop for teachers of local traditions at schools (known locally as ‘facilitators of Mentawai culture’). These people have a huge role to play in ensuring that local children of school going age inherit the cultural knowledge passed down from their forebears. Accordingly, we invited representatives from several local cultural and educational organisations to attend this year’s edition of the event. The event is supported by Mandai Nature and Fortwayne Children’s Zoo through swaraOwa’s Mentawai Gibbon Conservation Program.

It aimed to:

  1. Introduce to the current generation of local teachers of Mentawai culture the local flora and fauna, especially our primate species;
  2. Educate them on the importance of conserving Mentawai primates, and measures currently being taken on that front;
  3. Enable teachers of Mentawai culture to spread the conservation message to their students;
  4. Allow teachers to inspire the next generation to contribute to conservation at a local level;
  5. Bring together Mentawai biodiversity and cultural conservation activists.

Opening ceremony, Mentawai traditional dance performance

 

The workshop was held from 1 – 4 March 2022 and involved a total of 29 people, made up of the participants, subject matter experts and the organising committee. The participants represented teachers of Mentawai culture from local primary schools, kindergartens, charitable foundations as well as local community organisations

The event was held at Toloulaggo Hamlet, Katurei Village (Siberut Barat Daya District). For the field survey component, we went to a nearby observation point in the forest of Tololago.

activity in the forest

group presentation towards other participants

Chaired by Ismael Saumanuk, the workshop was officially opened on 2 March 2022 by Karlo Saumanuk from the Katurei village administration, followed by speeches by Damianus Tateburuk (Malinggai Uma) and Nur Aoliya (SwaraOwa). The opening ceremony featured a traditional Mentawai dance performance by children from Malinggai Uma, featuring the gibbon (uliat bilou) dance and eagle dance.

Next came the presentations from the two experts we invited. The first was by Antonius Vevbri, S.Si, M.Sc from Siberut National Park, who covered the biodiversity on Siberut Island and the efforts made to conserve it. Our second speaker was Fransiskus Yanuarius M, from the Yayasan Pendidikan Budaya Mentawai (Mentawai Cultural Education Foundation), who touched upon the importance of preserving both Mentawai customs and local wildlife, introducing the activities of his foundation along the way.

On the first day of the workshop, the SwaraOwa team also launched the Mentawai Nature and Culture card game, a memory game that can be played by young and old alike. It consists of cards with photos printed on them that showcase Mentawai biodiversity and culture. In fact, this card game was born of a previous edition of the workshop. Through this interactive game, we hope that the conservation message will be passed on more effectively from teachers to their students. Attendees were also given a field guide to Mentawai  primate and bird species, which had been jointly compiled and published by SwaraOwa and Malinggai Uma.

On the second and third days, we ventured into the forest in Toloulaggo to look for local wildlife. The participants were divided into three groups named after indigenous primates, namely Team Bilou (Kloss’s gibbon), Team Simakobu  (Pigtailed langur) and Team Joja (Mentawai langur). Each group took a different transect walk, taking note of their sightings from 6.30am to 11.30am. After that, they regrouped in the village to talk about the types of primates and birds they found, as well as discuss how these types of wildlife related to local culture, for example the part they had to play in storytelling traditions.

Below, you can find our photos from these two days of fieldwork.

Mentawai Gibbon

Mentawai Dwarf Toad

Tiger shrike

Written by Damianus Tateburuk  (Malinggai Uma Tradisional Mentawai), Translated by TT Chan.

Malinggai Uma Tradisional Mentawai is a traditional Institution headquartered in Dusun Puro II Muntei Village, South Siberut District, Mentawai Islands Regency – West Sumatra. Malinggai Uma was formed on 5 September 2014 and seeks to promote local forms of art and culture, as well as the conservation of the native biodiversity of the Mentawai Islands.

02May/21

Semangat Baru dari Sipora, Menjaga Alam dan Budaya

Oleh : Damianus Tateburuk ( Malinggai Uma Mentawai)

Kebudayaan dan keanekaragaman hayati daerah di Indonesia terwujud dalam beragam bentuk kegiatan dan aktivitas dalam kelompok masyarakat di berbagai daerah di Indonesia, dan ini ditandai dengan beragam hasil karya dari berbagai kelompok masyarakat budaya yang menunjukkan ciri khas kebudayaanya masing-masing, sebagai contohnya antara lain jenis rumah adat, tarian, musik, seni ukir, pakaian adat, dan bersamaan dengan keanekaragam hayati contohnya antra lain jenis alam, hutan, primata, burung, herpetofouna dan sebagainya, dan secara keseluruhannya kekayaan alamnya masih asli dan bahasa dan lain-lainnya. Seperti yang ada di Mentawai ini, bahwa kebudayaan hidup didalam  jiwa masyarakat bangsa Indonesia dan perlu dilihat sebagai suatu aset negara melalui pemahaman dan lingkungan, tradisi serta potensi-potensi kebudayaan yang dimiliki untuk dapat diberdayakan untuk dapat mencapai tujuan pembangunan nasional.

Seni Kebudayaan Dan Konservasi Keanekaragam Hayati yang merupakan salah satu bentuk kearifan lokal di Sumatra Barat, khususnya di Kepulauan Mentawai dikembangakan dalam satu wadah atau perkumpulan dengan menejemen yang sederhana, Wadah atau tempat berkumpulnya pelaku seni kebudayaan dan konservasi keanekaragam hayati biasanya dinamakan perkumpulan, Dari sekian banyaknya organisasi, yayasan, lembaga, pemerintahan dan organisasi ini yang berada di Sumatra Barat, salah satunya adalah Malinggai Uma Tradisional Mentawai.

Malinggai Uma Tradisional Mentawai pusat bersekretariat di Dusun Puro II Desa Muntei Kecamatan Siberut Selatan Kabupaten Kepulauan Mentawai–Sumatra Barat. Malinggai Uma Tradisional Mentawai ini merupakan sarana bagi berkembangnya  dan pelestarian kebudayaan dan konservasi keanekaragam hayati khususnya, Malinggai Uma Tradisional Mentawai dibentuk pada tanggal  05 September 2014 dan untuk memberikan fasilitasi kepada masyarakat umum dalam hal di bidang seni kebudayaan  Konservasi keanekaragam hayati dan satwa liar dan primata mentawai, Adat Istiadat Mentawai, semoga Malinggai Uma Tradisional Mentawai dapat menjadi tempat / wadah untuk menggali tentang Kebudayaan dan keanekaragam hayati, yang mulai memudar khususnya dikalangan remaja dikarenakan ketidak pedulian masyarakat itu sendiri untuk memperkenalkan kebudayaan dan keanekaragam hayati mentawai tersebut kepada generasi penerus mereka dan pengaruh budaya asing serta kurangnya wadah bagi mereka untuk mengetahui budaya asli mereka sendiri dan ini sangat memprihatinkan sekali, bagi kami sehingga organisasi atas nama Malinggai Uma Tradisional Mentawai sangat berharap dan berkeinginan penuh dengan berdirinya organisasi ini dapat membantu masyarakat untuk mengetahui, menggali serta memahami tentang nilai-nilai seni dan kebudayaan dan serta keanekaragam hayati mentawai dan serta perlindungan satwa dari jenis-jenis primata (Bilou, Simakobu, Simakubu simabulau, Joja, Bokkoi, herpetofouna dan burung-burung mentawai dan sebagainya) yang sekarang ini sudah mulai dilupakan. Malinggai Uma Tradisional Mentawai juga tidak menutup bagi masyarakat diluar mentawai ataupun dari mancanegara untuk mendapatkan informasi tentang kebudayaan dan keanekaragam hayati yang ada di mentawai. Selain itu Malinggai Uma Tradisional Mentawai juga akan terus mengadakan kegiatan seminar-seminar dan pelatihan tentang Kebudayaan dan keanekaragam hayati kedepannya, kegiatan yang telah kami lakukan sebelumnya yaitu “Seminar Pangureijat” (Pernikahan Adat Mentawai), (Pergelaran Seni Budaya Mentawai) (dan Turuk Laggai di Padang), (Pelatihan Guru Dan Fasilitator Sekolah Budaya Mentawai).

Bulan April tanggal 7-8, 2021 yang lalu kami juga telah berhasil melaksanakan sebuah acara pelatihan untuk anak-anak sekolah usia sekolah menengah atas di Dusun Goisooinan, Sipora. Berjudul “ Pelatihan Pengamatan Satwaliar dan Penggunaan Smartphone untuk Promosi Konservasi”.  Kegiatan yang didukung oleh SWARAOWA dari Yogyakarta dan Fortwayne Children’s Zoo dari Indiana Amerika Serikat. Latar belakang acara ini adalah semakin susahnya kita menjumpai satwa-satwa asli mentawai dan generasi muda semakin jauh dari rasa memiliki kekayaan alam mentawai, beberapa daerah khususnya di Mentawai juga sudah bagus sinyal telekomunikasi, dan anak-anak ini hampir setiap hari menggunakan gawai. Oleh karena itu potensi generasi muda mentawai ini perlu di dorong dengan pengalaman-pengalaman lapangan yang memang tidak dapat di sekolah, bagaimana mendokumentasikan alam sekitar mereka dan membuat cerita untuk oranglain supaya lebih tertarik, ataupun mengenalkan diri mereka dan budaya mentawai. Peserta acara ini adalah 15 orang  anak-anak usia SMA, 10 Orang darai Sipora dan 5 orang dari Siberut, terdiri dari 7 anak perempuan dan 8 anak laki-laki. Acara dilaksanakan 2 hari, dengan susunan acara 1 hari materi kelas dan 1 hari ke hutan. Pemateri yang di undang dalam acara ini adalah dari Birdpacker indonesia, organisasi konservasi burung dari Malang Jawa timur, ada mas Waskito Kukuh dan mbak Devi Ayumandasari, yang akan menyampaikan materi tentang pengamatan burung dan penggunaan smarphone untuk fotografi dan promosi konservasi melalui sosial media. dan tentang primata disampaikan oleh mbak Eka Cahayningrum dari SwaraOwa organisasi konservasi primata dari Yogyakarta yang berkerja untuk konservasi Owa Indonesia.

 

Hari pertama acara kelas di buka oleh Ketua Malinggai atau  yang mewakili ( Bapak Vincent) dan sambutan-sambutan dari dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kab.KepMentawai, dari dinas Pariwisata,  dan dari Desa Goisooinan. Acara hari pertama pengenalan dasar-dasar teknik pengamatan alam khususnya untuk satwaliar burung dan primata, dan menggunakan nya sebagai bahan publikasi di media sosial, sperti instagram, facebook, dan whatsapp. Hari kedua acara dilakukan di hutan yang di bagi menjadi 3 kelompok, pengamatan-pengamatan di dokumentasikan di selesai pengamatan di lalukan presentasi hasil dari masing-masing kelompok.  Dalam menyampaikan presentasi ini peserta juga di perkenalkan oleh para pemateri tetang bagaimana menyajikan data dalam presentasi menggunakan power point yang sederhana dan menarik.

Antusias  peserta yang juga di dampingi para pendamping dari Malinggai Uma, telah berhasil mendokumentasikan foto-foto yang di jumpai selama pengamatan dan beberapa diantaranya juga sudah di upload di sosial media. Harapannya kegiatan ini dapat memberikan wawasan baru dan pengalaman untuk generasi muda mentawai untuk lebih mengenal apa yang ada di sekitar mereka dan melestarikan identitas budaya asli mentawai.