ditulis oleh: Kurnia Latifiana − [email protected]
Pertama kali pengamatan primata, pertama kali ke Natuna, pertama kali terjun ke lapangan dengan dua wanita hebat, tangguh, dan mandiri. Serba pertama kali yang dikemas secara epic. Semesta merestui kami − Mbak Kasih, Mbak Ika, dan aku − untuk melakukan survei primata endemik kekah Natuna (Presbytis natunae) di habitat aslinya. Kekah, biasa masyarakat lokal Natuna menyebutnya, salah satu jenis primata yang hanya ada di Pulau Natuna. Kekah Natuna dilindungi oleh Pemerintah Indonesia melalui P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018. Status konservasi secara global, terklasifikasi sebagai satwa yang rentan terhadap kepunahan atau vulnerable (VU) (IUCN SSC Primate Specialist Group, 2020) dan status perdagangan termasuk Appendix II CITES yaitu berpotensi terancam punah bila perdagangan dilakukan terus-menerus tanpa adanya hukum yang mengaturnya (CITES, 2016).
Hampir menuju penghujung September 2020, kami bertiga bergerak ke utara membelah khatulistiwa, dari Pulau Jawa menuju Pulau Natuna. Pulau kecil ini seluas 1.605 km2 dan di kelilingi lautan lepas. Jika kalian membuka Peta Indonesia, maka Pulau Natuna berada di paling utara Selat Karimata, di antara Pulau Sumatera dan Kalimantan. Sering disebut Pulau Natuna Besar atau Pulau Bunguran, pulau utama terbesar di Kepulauan Natuna, Provinsi Kepulauan Riau. Sesampainya di Natuna, kami langsung menuju Kantor KPHP Unit V Natuna, di Ranai. Berbekal informasi dari rekan-rekan KPHP Natuna yang lebih mengetahui persis lokasi kekah berada saat ini, kami berdiskusi untuk menentukan lokasi survei yang dapat kami jangkau. Beberapa lokasi target sudah kami tentukan, pun dengan pembagian siapa meluncur ke lokasi mana. Kami bersepakat untuk membagi tim menjadi tiga. Kami berpencar. Saatnya eksekusi.
***
Sebelumnya, aku sama sekali belum pernah melakukan pengamatan primata. Hanya sekedar field trip sebagai tourist, itu pun baru sekali. Survei ini adalah pengalaman pertamaku, dan langsung ke Natuna. What a surprise! Karena sesungguhnya aku yang dulu cukup lama menjadi teman setia dalam kegelapan bersama satwa nokturnal, herpetofauna. Ketika pengamatan sering nunduk dan hanya sesekali lihat ke atas. Namun, kali ini semua itu berkebalikan. Aku harus jalan pagi dan sore, mengamati atas tajuk. Seperti merubah algoritma default di otakku.
My first trial and error. Sebenarnya cukup khawatir njomplang (tidak seimbang) dengan kemampuan dua mbak senior yang sudah lihai kesana-kemari pengamatan primata. Njomplang dalam arti peluangku mendeteksi primata belum cukup terlatih, belum peka dengan keberadaannya. Mbak Kasih berkali-kali berpesan padaku, “Jalannya santai saja, kalem, slow. Ada area terbuka, berhenti dulu, amati sekitar. Kalau jumpa kekah, catat hal-hal prioritas. Jangan terlalu lama di titik itu, nanti kehilangan jejak untuk kelompok di depannya.” Aku ingat-ingat betul pesannya dan aku praktekkan sebisaku.
***
Rangkaian survei pertama kami di sekitar Ranai, yang merupakan pusat pemerintahan di Kabupaten Natuna, terletak di bagian timur pulau ini. Kami menyebar ke tiga lokasi survei sesuai rencana. Hari pertamaku pengamatan primata. Surprise! Sekelompok kekah menampakkan raut imutnya, sekitar 30 meter di depanku, berlokasi di kebun campur yang menyerupai hutan sekunder di sekitar permukiman warga. “Oh, ini toh dia (kekah) kalau di alam. Oh, begini wujudnya,” decak kagumku tak terhenti. Pertama kali dalam sejarah hidupku melihat Presbytis di alam. Mereka (kekah) auto sibuk berpindah dari pohon satu ke pohon lain untuk waspada sambil mengawasiku. Tak mau kalah sibuk, aku pun mengintip mereka melalui jendela kamera untuk mengabadikannya melalui foto. Beberapa frame sudah ku dapat, tapi belum puas, hasil gambar masih kabur karena terlalu bahagia sampai gemetaran pegang kamera. Hehehe. Ketika sampai penginapan, kami bertiga bertukar cerita. Hari pertama pengamatan, dua senior sekaligus guru dan sahabatku ini belum bertemu langsung dengan kekah. “Ini nih yang dinamakan keberuntungan pemula. Langsung ketemu di hari pertama pengamatan. Selamat ya!” tuturnya.
Hari berikut, masih di Ranai dan sekitarnya. Aku menuju jalur pendakian Gunung Ranai, gunung tertinggi di pulau ini. Gunung ini merupakan kawasan hutan lindung KPHP Natuna, dengan tutupan hutan lahan kering sekunder yang berbatasan dengan kebun masyarakat. Sambil mendaki lereng curam, aku melihat pergerakan daun tak wajar sekaligus mendengar riuh suara kekah, sangat nyaring. Tanpa pikir panjang, aku merekam suaranya menggunakan ponsel pintarku. Iqbal, staff KPHP Natuna yang menemaniku, melihat kekah itu, “Ada (kekah), Kak. Ada 3 ekor,” ucapnya. Aku pun meneruskan jalur pendakian dengan lereng yang sangat tajam, diiringi latar suara kekah menemaniku terengah-engah mendaki Gunung Ranai.
Selepas seharian berpencar ke transek masing-masing, setibanya di penginapan, kami selalu bertukar cerita sekaligus berdiskusi merencanakan menuju target lokasi berikutnya. Hari itu Mbak Ika sangat beruntung jumpa kekah sekaligus mendapatkan fotonya, begitupun Mbak Kasih. Lengkap sudah, kami semua sudah bertemu dan mendapatkan foto kekah di alam. Tak lama, dua mbak senior ini sangat seru membicarakan kekah dan membandingkan dengan spesies Presbytis yang lain. Kira-kira begini, “Dia (kekah) di sisi luar tuh ada putihnya ya ternyata. Dia kalau pindah kalem banget, lebih slow daripada spesies ini loh… bla bla bla…” dan seterusnya. Hemm, aku cuma bisa diam dan mendengarkan apa yang mereka bicarakan, mencoba mengekstrak tapi tetap saja nggak terbayang juga. Hahaha.
Selanjutnya pada trip kedua, kami berpindah berpencar untuk menjelajahi sisi Natuna bagian tengah-barat. Aku menuju Gunung Semala, yang hampir dua dekade silam dilaporkan ada kekah di sana (Lammertink et al., 2003). Di kaki gunung ini juga dimanfaatkan oleh para penambang batu untuk bertahan hidup. Menurut warga setempat, “Dulu memang banyak kekah, di sepanjang jalan menuju Gunung Semala juga ada. Namun, sekarang tak banyak, kalau di gunungnya justru tidak ada.” Pengamatanku kali ini nihil. Tak satupun primata teramati di Gunung Semala. Sunyi, tak terdengar suara satwa. Hanya sekali aku jumpa burung srigunting (nama lokal: sawe), terkadang teramati bajing kelapa.
Survei berikutnya menuju Natuna bagian selatan. Meminjam istilah Mbak Ika yaitu “kerajaan kekah”, karena baru jalan sebentar saja sudah jumpa kekah. Sangat memanjakan mata. Perbedaan yang sangat drastis dari lokasi pengamatanku sebelumnya. Dari informasi warga setempat, di jalur kebun buah memang sering dijumpai kekah. Aku segera menelusuri jalur yang dimaksud. Di jalur ini juga kerap mondar-mandir burung kangkareng perut putih (nama lokal: jungkak) dan sesekali teramati burung elang ular bido (nama lokal: elang darat). Tak membutuhkan waktu lama, setelah terdengar gemercik aliran sungai, terpantau olehku tujuh ekor kekah di atas pohon, lantas mereka bersuara. Aku mengira suara itu pasti ketua kelompok kekah yang memberikan “aba-aba” kepada kawanannya. Namun, kali ini lain, suaranya berbeda jika dibandingkan ketika aku merekamnya di Gunung Ranai. Entah itu tipe suara yang mana, yang penting aku rekam saja dulu. Di lokasi ini merupakan perkebunan campur yang berbatasan dengan hutan rawa sekunder. Aku coba mendatangi lokasi pohon di mana kekah tadi berkumpul. Pantas saja, ternyata ada pohon buah di situ. Kami masih mencoba untuk mengidentifikasi buah ini. Menurut warga setempat, kekah suka mengonsumsi bijinya saja. Selain itu, makanan favoritnya adalah biji buah karet, daun muda karet, biji rambutan, dan daun ubi.
Peluang perjumpaan kekah cukup tinggi di bagian selatan Natuna. Senang, namun sekaligus sedih, karena cukup mudah pula untuk diburu. Kami sempat menemui beberapa warga yang masih memelihara kekah di rumahnya. Berkaca-kaca ketika melihat sepasang kekah yang diikat dalam kandang seolah mereka berteriak ingin bebas, sedangkan aku belum bisa apa-apa. Pilu.
Kami berharap, melalui rangkaian kegiatan ini sebagai awalan baik untuk memicu aksi konservasi kekah Natuna yang saat ini populasinya semakin menurun. Sekaligus sebagai usaha untuk menghambat laju penurunan populasi dan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap konservasi kekah sehingga dapat berdampingan berbagi ruang hidup (coexistence). Semoga ada kesempatan untuk berkunjung kembali ke Natuna, kediaman “kerajaan kekah”, dan tentunya saat musim buah. Tak hanya bagi kami, tetapi bagi siapapun yang berniat baik ke sana.
Terima kasih kami ucapkan kepada Primate Conservation Inc. (PCI), SwaraOwa, keluarga besar BBKSDA Riau, KPHP Unit V Natuna, serta pihak-pihak yang telah mendukung upaya pelestarian Kekah Natuna. Terima kasih kepada warga setempat di seluruh penjuru Natuna yang berkenan kami singgahi sebagai hunian sementara selama di Pulau Natuna.
Kesan pertama memang selalu melekat di hati 🙂
***
Referensi:
Convention on International Trade in Endangered Species (CITES). (2016). Appendices I, II, and III. http://www.cites.org
IUCN SSC Primate Specialist Group. (2020). IUCN Red List of Threatened Species 2020: Presbytis natunae. IUCN Red List of Threatened Species. Assessed by Setiawan, A, Cheyne, S. M., & Traehold, C. https://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2020-2.RLTS.T136500A17955492.en
Lammertink, M., Nijman, V., & Setiorini, U. (2003). Population size, Red List status and conservation of the Natuna leaf monkey Presbytis natunae endemic to the island of Bunguran, Indonesia. Oryx, 37(4), 472–479. https://doi.org/10.1017/S003060530300084X
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI. (2018). P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi. Jakarta, Indonesia.